4 Karakteristik Anak yang Rentan Jadi Korban “Child Grooming”

Di media sosial kerap terdengar istilah child grooming, istilah ini untuk menggambarkan kondisi saat orang dewasa berpacaran dengan anak di bawah umur. Melalui media sosial, pelaku child grooming bisa dengan mudah melakukan pendekatan dengan anak-anak atau remaja. Apalagi, biasanya korban tak menyadari hal tersebut, karena “menikmati” perhatian yang diberikan pelaku. Pada dasaranya child grooming adalah bentuk manipulasi yang dilakukan oleh pelaku untuk membangun hubungan kepercayaan dengan anak, dengan tujuan mengeksploitasi mereka secara emosional atau seksual.

1.Menurut Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga Farraas Afiefah Muhdiar, ada karakteristik tertentu yang membuat sebagian anak lebih rentan menjadi target child grooming. Berikut adalah karakteristiknya.  1. Tidak Dekat dengan Ayah Anak-anak yang memiliki hubungan bermasalah dengan orangtua, terutama dengan figur ayah, cenderung lebih rentan.  “Yang lebih rentan sih sebenarnya adalah anak-anak yang memang punya masalah dengan orangtua ya, kayak punya isu sama figur ayah,” ujarnya ketika diwawancarai

2.Ketika seorang pelaku memberikan perhatian, perlindungan, atau kasih sayang yang tidak mereka dapatkan dari ayahnya, anak-anak ini menjadi lebih mudah terpengaruh.   2. Kekosongan Emosional di Lingkungan Keluarga  Anak yang merasa “tangki cintanya kosong” seperti tidak cukup dihargai atau merasa tidak diperhatikan secara emosional oleh orangtua, sering kali menjadi target empuk.  “Tangki cintanya tuh tidak terisi penuh selama ini, jadi begitu ada yang mengisi, gampang banget buat tertariknya gitu,” ungkap.  Artinyaa, ketika pelaku datang dengan menawarkan perhatian, rasa dilindungi, atau disayangi, anak-anak ini cenderung mudah merasa nyaman dan tertarik. Hal ini menciptakan kerentanan yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku grooming

3. Ketidaknyamanan di Dunia Nyata Banyak anak yang rentan grooming adalah mereka yang tidak merasa diterima di lingkungan dunia nyata, baik itu di rumah, sekolah, atau lingkungan sosial lainnya.  “Secara logika kalau anak diterima dengan baik lingkungannya, kan harusnya dia pacaran sama orang yang seumuran ya,” jelas Farraas.  Ketidaknyamanan ini sering membuat mereka mencari pelarian ke media sosial, di mana mereka bisa menjadi seseorang yang berbeda atau mendapatkan apresiasi yang mereka dambakan.

4. Kebutuhan Akan Apresiasi Anak memiliki kebutuhan untuk diapresiasi. Ketika oraangtua tidak memenuhi kebutuhhan tersebut, anak akan cenderung mencarinya dari orang lain.  Beberapa anak menggunakan media sosial untuk mengekspresikan diri secara berlebihan, misalnya dengan sengaja mengenakan pakaian yang lebih dewasa atau menampilkan persona yang berbeda dari usia mereka.  Mereka menikmati pujian dan pengakuan yang diberikan oleh orang lain, termasuk oleh pelaku grooming. Ini membuka peluang bagi pelaku untuk masuk dengan cara memberikan validasi yang anak cari.   “Jadi awal bibit-bibitnya yang lebih rentan seperti itu. Tentu tidak bisa digeneralisir, tapi biasanya orang-orang memang butuh figur orang dewasa, sehingga ketika dikasih perhatian mudah luluh,”

Nono4D

Nono4D

Nono4D

Nono4D

Nono4D

Nono4D

Nono4D

Nono4D

Nono4D

Nono4D

Nono4D

Nono4D

Nono4D

Nono4D

Nono4D

Nono4D

ROKOKBET

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *