Sebuah studi ungkap 7 dari 10 ibu di Indonesia mengalami mom shaming. Peneliti pun menemukan pelaku mom shaming mayoritas berasal dari lingkungan terdekat termasuk keluarga.
Health Collaborative Center (HCC) merilis studi terbaru mengenai mom shaming di Indonesia.
Mom shaming berarti tindakan mengkritik atau mempermalukan seorang ibu terkait cara dia membesarkan anaknya.
“Temuannya, angka kejadian mom shaming 72 persen atau 7 dari 10 ibu di Indonesia yang diwakili responden penelitian pernah mengalami mom shaming,” kata Ray Wagiu Basrowi, peneliti utama dan pendiri HCC, dalam pemaparan di Beautika Hang Lekir, Jakarta Selatan, Senin (1/7).
Angka ini, kata Ray, dinilai sangat tinggi. Dia berkata dalam beberapa studi global jika kelainan di komunitas sudah berada di atas 40 persen berarti dianggap kejadian patologis serius.
Studi dieksekusi pada Juni 2024 yang didahului dengan preliminary study pada Maret-Mei 2024. Studi pendahuluan dilakukan untuk kajian literatur dan menentukan instrumen penelitian yang tepat.
Kemudian Ray dan tim menyebarkan kuesioner secara acak pada lebih dari seribu responden. Namun setelah dicek, jawaban yang dianggap valid dan memenuhi kriteria ada sebanyak 892 responden.
“60 persen ibu responden studi memiliki skor pengetahuan yang baik tentang mom shaming,” katanya.
Profil responden mayoritas pendidikan terakhir SMA (60 persen) dengan kelompok usia 20-30 tahun (45 persen), usia 30-40 tahun (43 persen).
Mayoritas merupakan ibu rumah tangga (IRT) dan lainnya ibu bekerja baik PNS maupun pegawai swasta.
Sebanyak 72 persen responden mengaku pernah mengalami mom shaming. Dari 72 persen yang mengalami, sebanyak 20 persen mengalami dengan frekuensi sering atau setiap hari.
Mom shaming di media sosial tak ada apa-apanya
Temuan yang tak kalah menarik adalah pelaku mom shaming. Ray berkata mungkin selama ini orang menganggap mom shaming kebanyakan berasal dari media sosial.
Namun kenyataannya, pelaku mom shaming adalah orang di sekitar ibu (53 persen) seperti anggota keluarga (50,6 persen), orang di lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja (20 persen).
“Yang cukup mengejutkan hanya 6 persen yang dapat mom shaming di media sosial. Mungkin omongan di media sosial enggak ngaruh. Resistensi ibu terhadap mom shaming di media sosial lebih tinggi ketimbang mom shaming dari kerabat, teman atau tetangga,” imbuh Ray.
Lantas, apa ibu diam saja? Ternyata tidak. Sebanyak 23 persen responden mengaku melawan mom shaming. Namun sekitar 60 persen lainnya mencoba mengubah pola pengasuhan akibat pengaruh mom shaming.
Tak hanya mengubah pola pengasuhan, mom shaming juga mengakibatkan responden terganggu kesehatan mentalnya (56 persen), perasaan malu dan bersalah (65,7 persen), dan mencari kompensasi dengan mom shaming ibu lain (22 persen).
Ray menyebut timnya juga melihat odd ratio atau potensi risiko atau peluang dampak. Hasilnya, ibu yang mengalami mom shaming, dua kali lebih berisiko mengalami gangguan pola pengasuhan terhadap anak.
“Bila seorang ibu yang mengalami mom shaming dan tidak mendapat dukungan maka tiga kali lebih besar peluang melakukan mom shaming ke sesama ibu,” katanya.